Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

MAKALAH 4 BUAT TUGAS IBD

MAKALAH TUGAS IBD
Judul “
SISTEM SOSIAL BUDAYA INDONESIA







Nama : Dede Edwin Hidayat
Kelas : 1KA24
NPM : 11111793


“ UNIVERSITAS GUNADARMA”




“ SISTEM SOSIAL BUDAYA INDONESIA ”

                        Dengan semakin majunya zaman, seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, kebudayaan atau budaya Indonesia semakin tidak di perhatikan keberadaanya, bahkan belakangan ini banyak sekali budaya Indonesia yang diklaim oleh pihak lain, dan mungkin mereka lebih peduli daripada kita yang memilikinya.
          Indonesia adalah Negara yang kaya, subur dan seharusnya juga makmur. Tapi apa yang terjadi?. Sedikit mengenai Sistem Sosial dan Budaya di Indonesia, dalam kurun waktu yang singkat ini banyak penyimpangan-penyimpangan dari Sistem Sosial dan Budaya itu sendiri, bukan orang lain yang melakukannya, dan anehnya itu dilakukan oleh kita sendiri sebagai bangsa Indonesia yang seharusnya menjaga nilai-nilai kebudayaan tersebut.
          Jika hal ini dibiarkan berlanjut, maka Negara Indonesia akan hilang jatidirinya sebagai Negara pancasila. Oleh karena itu, pentingnya kita mengetahui tentang sistem sosial dan budaya Indonesia menjadi pokok bahasan dalam penyusunan makalah ini.



A.   Apa yang dimaksud dengan Sistem, Sistem Sosial, Sistem Budaya, Sistem Sosial Budaya serta Sistem Sosial Budaya Indonesia

1)    Pengertian Sistem

        Sistem berasal dari bahasa Latin (systēma) dan bahasa Yunani (sustēma) adalah suatu kesatuan yang terdiri dari komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau energi. Istilah ini sering dipergunakan untuk menggambarkan suatu set entitas yang berinteraksi, di mana suatu model matematika seringkali bisa dibuat.
          Sistem juga merupakan kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan yang berada dalam suatu wilayah serta memiliki item-item penggerak, contoh umum misalnya seperti negara. Negara merupakan suatu kumpulan dari beberapa elemen kesatuan lain seperti provinsi yang saling berhubungan sehingga membentuk suatu negara dimana yang berperan sebagai penggeraknya yaitu rakyat yang berada dinegara tersebut.
          Kata "sistem" banyak sekali digunakan dalam percakapan sehari-hari, dalam forum diskusi maupun dokumen ilmiah. Kata ini digunakan untuk banyak hal, dan pada banyak bidang pula, sehingga maknanya menjadi beragam. Dalam pengertian yang paling umum, sebuah sistem adalah sekumpulan benda yang memiliki hubungan di antara mereka.

2)    Pengertian Sistem Sosial

          Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan SISTEM SOSIAL.
          Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.
          Menurut Garna(1994),“sistem sosial adalah suatu perangkat peran sosial yang berinteraksi atau kelompok sosial yang memiliki nilai-nilai, norma dan tujuan yang bersama”. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sistem sosial itu pada dasarnya ialah suatu sistem dari tindakan-tindakan. Seperti yang diungkapkan oleh Parsons(1951), “Sistem sosial merupakan proses interaksi di antara pelaku sosial”.

3)    Pengertian Sistem Budaya

         Dalam pergaulan sehari-hari kita menemukan istilah mentalitas. Mentalitas adalah kemampuan rohani yang ada dalam diri seseorang, yang menuntun tingkah laku serta tindakan dalam hidupnya. Pantulan dalam tingkah laku itu menciptakan sikap tertentu terhadap hal-hal serta orang-orang di sekitarnya. Sikap mental ini sebenarnya sama saja dengan sistem nilai budaya (culture value system) dan sikap (attitude).
          Sistem nilai budaya (atau suatu sistem budaya) adalah rangkaian konsep abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar suatu warga masyarakat. Hal itu menyangkut apa dianggapnya penting dan bernilai. Maka dari itu suatu sistem nilai budaya merupakan bagian dari kebudayaan yang memberikan arah serta dorongan pada perilaku manusia. Sistem tersebut merupakan konsep abstrak, tapi tidak dirumuskan dengan tegas. Karena itu konsep tersebut biasanya hanya dirasakan saja, tidak dirumuskan dengan tegas oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Itu lah juga sebabnya mengapa konsep tersebut sering sangat mendarah daging, sulit diubah apalagi diganti oleh konsep yang baru.
          Bila sistem nilai budaya tadi memberi arah pada perilaku dan tindakan manusia, maka pedomannya tegas dan konkret. Hal itu nampak dalam norma-norma, hukum serta aturan-aturan. Norma-norma dan sebagainya itu seharusnya bersumber pada, dijiwai oleh serta merincikan sistem nilai budaya tersebut.
          Konsep sikap bukanlah bagian dari kebudayaan. Sikap merupakan daya dorong dalam diri seorang individu untuk bereaksi terhadap seluruh lingkungannya. Bagaimana pun juga harus dikatakan bahwa sikap seseorang itu dipengaruhi oleh kebudayaannya. Artinya, yang dianut oleh individu yang bersangkutan.
          Dengan kata lain, sikap individu yang tertentu biasanya ditentukan keadaan fisik dan psikisnya serta norma-norma dan konsep-konsep nilai budaya yang dianutnya. Namun demikian harus pula dikatakan bahwa dalam pengamatan tentang sikap-sikap seseorang sulitlah menunjukkan ciri-cirinya dengan tepat dan pasti. Itulah juga sebabnya mengapa tidak dapat menggeneralisasi sikap sekelompok warga masyarakat dengan bertolak (hanya) dari asumsi yang umum saja.

4)    Pengertian Sistem Sosial Budaya

            Dari penjelasan di atas mengenai pengertian sistem, sistem sosial dan sistem budaya dapat dinyatakan secara sederhana dalam arti luas bahwa pengertian Sistem Sosial Budaya yaitu suatu keseluruhan dari unsur-unsur tata nilai, tata sosial dan tata laku manusia yang saling berkaitan dan masing-masing unsur bekerja secara mandiri serta bersama sama satu sama lain saling mendukung untuk mencapai tujuan hidup manusia dalam bermasyarakat.”

5)    Pengertian Sistem Sosial Budaya Indonesia
 
         Istilah sosial budaya merupakan bentuk gabungan dari istilah soial dan budaya. Sosial dalam arti masyarakat, budaya atau kebudayaan dalam arti sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Sosial budaya dalam arti luas mencakup segala aspek kehidupan. Karena itu, atas dasar landasan pemikiran tersebut maka pengertian sistem sosial budaya Indonesia dapat dirumuskan sebagai totalitas tata nilai, tata sosial dan tata laku manusia Indonesia yang merupakan manifestasi dari karya, rasa dan cipta didalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berdasarkan pancasila dan UUD 1945.
          Dengan demikian, sistem sosial budaya Indonesia memungkinkan setiap manusia mengembangkan dirinya dan mencapai kesejahteraan lahir batinnya selengkap mungkin secara merdeka sesuai dengan kata hatinya dalam kerangka pola berpikir dan bertindak yang berdasarkan pancasila.
          Struktur sistem sosial budaya Indonesia dapat merujuk pada nilai - nilai yang terkandung dalam pancasila yang terdiri atas:

a)    Tata nilai
          Struktur tata nilai kehidupan pribadi atau keluarga, masyarakat, bangsa, dan Negara meliputi berikut ini.
  Nilai Agama
  Nilai moral
   Nilai vital
  Nilai material ( raga)
b)    Tata Sosial Tata sosial indonesia harus berdasarkan :
  UUD 1945
  Peraturan perundang-undangan lainnya
  Budi pekerti yang luhur dan cita-cita moral rakyat yang luhur
c)    Tata laku ( Karya )
          Tata laku pribadi atau keluarga, masyarakat bangsa dan Negara harus berpedoman pada ;
  Norma Agama
  Norma Kesusilaan/kesopanan
   Norma Adat istiadat
  Norma Hukum setempat
  Norma Hukum Nega

B.    Apa-apa saja pendekatan teoritis yang harus dikuasai untuk lebih memahami sistem sosial budaya Indonesia ?
Untuk lebih memahami sistem sosial dan budaya Indonesia diperlukan penguasaan teori karena fungsi teori adalah memberi makna terhadap realitas sosial. Pendekatan teoritis yang harus dikuasai adalah Pendekatan Struktur Fungsional dan Pendekatan Konflik.
1.    Pendekatan Struktur Fungsional
      Sudut pendekatan tersebut menganggap bahwa masyarakat pada dasarnya terintegrasi di atas dasar kata sepakat para anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu (General agreements). Kesepakatan tersebut memiliki daya mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan diantara para anggota masyarakat dan memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi ke dalam suatu bentuk equilibrium (seimbang).
                   Aliran pemikiran tersebut dianggap sebagai:
         Integration approach
         order approach
         equilibrium approach
         structural-functional approach (teori-teori fungsional struktural)
Berikut sejumlah anggapan dasar pendekatan fungsionalisme struktural yang telah dikembangkan oleh Talcott Parsons :
·         Masyarakat harus dilihat sebagai suatu sistem daripada bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain
·         Hubungan pengaruh-mempengaruhi diantara bagian-bagian tersebut adalah bersifat ganda dan timbal balik 
·         Sistem sosial cenderung bergerak ke arah equilibrium yang bersifat dinamis, meskipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna 
·         Sekalipun disfungsi, ketegangan-ketegangan dan penyimpangan-penyimpangan senantiasa terjadi, akan tetapi dalam jangka yang panjang. akhirnya akan teratasi dengan sendirinya melalui penyesuaian-penyesuaian dan proses institusionalisasi. Integrasi sosial pada tingkatnya yang sempurna tidak akan pernah tercapai, tetapi setiap sistem sosial akan berproses ke arah itu 
·         Perubahan-perubahan di dalam sistem sosial umumnya terjadi secara gradual. sesuai keadaan Indonesia
·         Pada dasarnya, perubahan-perubahan sosial timbul atau terjadi melalui 3 macam kemungkinan:
·         Perubahan yang datang dari luar,
·         Pertumbuhan melalui proses diferensiasi struktural dan fungsional 
·         Penemuan-penemuan baru oleh anggota masyarakat
Sistem sosial pada dasarnya tidak lain adalah suatu sistem daripada tindakan-tindakan. Norma-norma sosial itulah yang sesungguhnya membentuk struktur sosial. Dua macam mekanisme sosial yang paling penting adalah mekanisme sosialisasi dan pengawasan sosial.
      David Lockwood, menegaskan kepada kita kenyataan bahwa, setiap situasi sosial yang senantiasa mengandung didalam dirinya ada dua hal, yaitu tata tertib sosial yang bersifat normatif, dan substratum (disposisi-disposisi bagi yang mengakibatkan timbulnya perbedaan dan kepentingan yang tidak bersifat normatif) yang melahirkan konflik-konflikpendekatan fungsionalisme struktural menganggap bahwa disfungsi ketegangan-ketegangan dan penyimpangan-penyimpangan sosial mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan kemasyarakatan dalam bentuk tumbuhnya diferensiasi sosial yang semakin kompleks, akibat pengaruh faktor-faktor yang datang dari luar.
                                                                                                                       
Anggapan semacam itu mengabaikan kenyataan-kenyataan berikut:
1)    Struktur sosial mengandung konflik-konflik dan kontradiksi-kontradiksi yang bersifat internal
2)    Reaksi dari suatu sistem sosial terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar tidak selalu bersifat adjustive
3)    Sistem sosial dapat mengalami konflik-konflik sosial yang bersifat vicious circle
4)    Perubahan sosial tidak selalu terjadi secara gradual
      Pendekatan fungsionalisme struktural dipandang oleh banyak ahli sosiologi sebagai pendekatan yang bersifat reaksioner, oleh karenanya, dianggap kurang mampu menganalisa masalah-masalah perubahan kemasyarakatan.
2.    Pendekatan konflik
       Pendekatan konflik memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanyakonflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula.
       Pendekatan konflik berpangkal pada anggapan-anggapan dasar berikut:
·         Setiap masyarakat senantiasa berada didalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir. perubahan sosial merupakan gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat
·         Konflik adalah merupakan gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat
·         Setiap unsur didalam suatu masyarakat memberikan sumbangan terhadap terjadinya disintegrasi dan perubahan-perubahan sosial 
·         Setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi oleh sejumlah orang atas sejumlah orang-orang yang lain
      Pembagian kewenangan (otoritas) secara tidak merata mengakibatkan dua macam kategori sosial, yaitu mereka yang memiliki otoritas dan mereka yang tidak memiliki otoritas. Dalam setiap masyarakat selalu terdapat konflik antara kepentingan dari mereka yang memiliki kekuasaan otoriatif. Pengertian lebih bersifat gejala teoritis daripada sebagai kenyataan bersifat empiris. Karena kepentingan-kepentingan yang tidak selalu disadari adanya, maka disebut kepentingan-kepentingan yang bersifat laten, sementara mereka yang mempunyai disebut kelompok semu.
      Kelompok semu tidak memiliki struktur hubungan sosial, tetapi anggotanya memiliki kepentingan dan mode tingkah leku yang sama, yang dapat berkembang menjadi kelompok. dengan demikian, kelompok semu merupakan sumber dari mana para anggota kelompok kepentingan berasal. Kelompok kepentingan berkenaan dengan perkumpulan-perkumpulan yang bersifat politis.
      Dahrendorf menyebutkan tiga macam prasyarat yang bersifat kondisional, yang memungkinkan kelompok semu dapat terorganisir ke dalam bentuk kelompok kepentingan.
1)    Kondisi-kondisi teknis dari suatu organisasi. munculnya sejumlah orang-orang tertentu yang mampu merumuskan dan mengorganisir latent interest dari suatu kelompok semu menjadi manifest interest berupa kebutuhan yang secara sadar ingin dicapai orang
2)    Kondisi-kondisi politis dari suatu organisasi. ialah ada tidaknya kebebasan politik untuk berorganisasi yang diberikan oleh masyarakat
3)    Kondisi-kondisi sosial bagi suatu organisasi. yakni adanya sistem komunikasi yang memungkinkan para anggota dari kelompok semu berkomunikasi satu sama lain dengan mudah.
      Sebagaimana kita ketahui, konflik timbul sebagai akibat adanya kenyataan bahwa setiap masyarakat selalu terdapat distribusi otoritas yang terbatas. konsekuensinya, bertambahnya otoritas pada satu pihak, serta merta berkurangnya otoritas pada pihak lain. Konflik merupakan gejala kemasyarakatan yang akan senantiasa melekat dalam kehidupan setiap masyarakat dan tidak mungkin dihilangkan.
Bentuk pengendalian konflik:
1)    Konsiliasi (Conciliation)
      Suatu usaha untuk mempertemukan keinginan-keinginan dari pihak terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan diantara pihak-pihak yang berkonflik.
Lembaga-lembaga bersifat efektif jika:
·         Lembaga-lembaga tersebut bersifat otonom tanpa campur tangan dari badan lain yang ada di luarnya
·         Kedudukan lembaga-lembaga tersebut di dalam masyarakat bersifat monopolistis 
·         Peranan lembaga-lembaga harus sedemikian rupa, sehingga berbagai kelompok kepentingan yang berlawanan merasa terikat kepada lembaga, sementara keputusan-keputusannya mengikat kelompok-kelompok tersebut  
·         Lembaga harus bersifat demokratis
      Kesemuanya hanya mungkin diselenggarakan apabila kelompok yang saling bertentangan memenuhi 3 prasyarat berikut:
·         Masing-masing kelompok harus menyadari situasi konflik diantara mereka, maka dari itu perlu dilaksanakan prinsip-prinsip keadilan secara jujur bagi semua pihak  
·         Pengendalian konflik-konflik dilakukan apabila berbagai kekuatan sosial yang saling bertentangan terorganisir dengan jelas
·         Setiap kelompok harus mematuhi aturan permainan
2)    Mediasi (Mediation)
      Dimana kedua belah pihak yang bersengketa sepakat menunjuk pihak ketiga untuk memberikan nasihat-nasihat penyelesaian konflik. Tujuannya untuk mengurangi irasionalitas yang biasanya timbul dalam konflik, memungkinkan pihak-pihak yang bertentangan menarik diri tanpa harus malu, dan mengurangi pemborosan yang dikeluarkan untuk membiayai pertentangan.
3)    Arbitrasi (Arbitration)
Dimana kedua belah pihak yang bertentangan bersepakat untuk menerima atau terpaksa menerima hadirnya pihak ketiga yang akan memberikan keputusan-kepurusan tertentu untuk menyelesaikan konflik mereka.
      Jika pengendalian konflik efektif, maka konflik akan menjadi kekuatan pendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial yang terus berlanjut.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

MAKALAH 3 BUAT TUGAS IBD

MAKALAH TUGAS IBD
Judul “ KEBUDAYAAN SUKU SUNDA







Nama : Dede Edwin Hidayat
Kelas : 1KA24
NPM : 11111793



“ UNIVERSITAS GUNADARMA

“KEBUDAYAAN SUKU SUNDA”

Suku Sunda merupakan suku yang terdapat di Provinsi Jawa Barat. Suku sunda adalah salah satu suku yang memiliki berbagai kebudayaan daerah, diantaranya pakaian tradisional, kesenian tradisional, bahasa daerah, dan lain sebagainya.
Diantara sekian banyak kebudayaan daerah yang dimiliki oleh suku sunda adalah sebagai berikut :
           1. Pakaian Adat/Khas jawa Barat
Suku sunda mempunyai pakaian adat/tradisional yang sangat terkenal, yaitu kebaya. Kebaya merupakan pakaian khas Jawa Barat yang sangat terkenal, sehingga kini kebaya bukan hanya menjadi pakaian khas sunda saja tetapi sudah menjadi pakaian adat nasinal. Itu merupakan suatu bukti bahwa kebudayaan daerah merupakan bagian dari kebudayaan nasional.
          
           2. Kesenian Khas Jawa Barat

a. Wayang Golek
Wayang Golek merupakan kesenian tradisional dari Jawa Barat yaitu kesenian yang menapilkan dan membawakan alur sebuah cerita yang bersejarah. Wayang Golek ini menampilkan golek yaitu semacam boneka yang terbuat dari kayu yang memerankan tokoh tertentu dalam cerita pawayangan serta dimainkan oleh seorang Dalang dan diiringi oleh nyanyian serta iringan musik tradisional Jawa Barat yang disebut dengan degung.

b. Jaipong
Jaipong merupakan tarian tradisional dari Jawa Barat, yang biasanya menampilkan penari dengan menggunakan pakaian khas Jawa Barat yang disebut kebaya, serta diiringi musik tradisional Jawa Bart yang disebut Musik Jaipong.
Jaipong ini biasanya dimainkan oleh satu orang atau sekelompok penari yang menarikan berakan – gerakan khas tari jaipong.

c. Degung
Degung merupakan sebuah kesenian sunda yang biasany dimainkan pada acara hajatan. Kesenian degung ini digunakan sebagai musik pengiring/pengantar.
Degung ini merupakan gabungan dari peralatan musik khas Jawa Barat yaitu, gendang, goong, kempul, saron, bonang, kacapi, suling, rebab, dan sebagainya.
Degung merupakan salah-satu kesenian yang paling populer di Jawa Barat, karena iringan musik degung ini selalu digunakan dalam setiap acara hajatan yang masih menganut adat tradisional, selain itu musik degung juga digunakan sebgai musik pengiring hampir pada setiap pertunjukan seni tradisional Jawa Barat lainnya.
d. Rampak Gendang
Rampak Gendang merupakan kesenian yang berasal dari Jawa Barat. Rampak Gendang ini adalah pemainan menabuh gendang secara bersama-sama dengan menggunakan irama tertentu serta menggunakan cara-cara tertentu untuk melakukannya, pada umumnya dimainkan oleh lebih dari empat orang yang telah mempunyai keahlian khusus dalam menabuh gendang. Biasanya rampak gendang ini diadakan pada acara pesta atau pada acara ritual.

e. Calung
Di daerah Jawa Barat terdapat kesenian yang disebut Calung, calung ini adalah kesenian yang dibawakan dengan cara memukul/mengetuk bambu yang telah dipotong dan dibentuk sedemikian rupa dengan pemukul/pentungan kecil sehingga menghasilkan nada-nada yang khas.
Biasanya calung ini ditampilkan dengan dibawakan oleh 5 orang atau lebih. Calung ini biasanya digunakan sebagai pengiring nyanyian sunda atau pengiring dalam lawakan.


f. Pencak Silat
Pencak silat merupakan kesenian yang berasal dari daerah Jawa Barat, yang kini sudah menjadi kesenian Nasional.
Pada awalnya pencak Silat ini merupakan tarian yang menggunakan gerakan tertentu yang gerakannya itu mirip dengan gerakan bela diri. Pada umumnya pencak silat ini dibawakan oleh dua orang atau lebih, dengan memakai pakaian yang serba hitam, menggunakan ikat pinggang dari bahan kain yang diikatkan dipinggang, serta memakai ikat kepala dari bahan kain yang orang sunda menyebutnya Iket.
Pada umumnya kesenian pencaksilat ini ditampilkan dengan diiringi oleh musik yang disebut gendang penca, yaitu musik pengiring yang alat musiknya menggunakan gendang dan terompet.

g. Sisingaan
Sisingaan merupakan kesenian yang berasal dari daerah Subang Jawa barat. Kesenian ini ditampilkan dengan cara menggotong patung yang berbentuk seperti singa yang ditunggangi oleh anak kecil dan digotong oleh empat orang serta diiringi oleh tabuhan gendang dan terompet. Kesenian ini biasanya ditampilkan pada acara peringatan hari-hari bersejarah.

h. Kuda Lumping
Kuda Lumping merupakan kesenian yang beda dari yang lain, karena dimainkan dengan cara mengundang roh halus sehingga orang yang akan memainkannya seperti kesurupan. Kesenian ini dimainkan dengan cara orang yang sudah kesurupan itu menunggangi kayu yang dibentuk seperti kuda serta diringi dengan tabuhan gendang dan terompet. Keanehan kesenian ini adalah orang yang memerankannya akan mampu memakan kaca serta rumput. Selain itu orang yang memerankannya akan dicambuk seperti halnya menyambuk kuda. Biasanya kesenian ini dipimpin oleh seorang pawang.
Kesenian ini merupakan kesenian yang dalam memainkannya membutuhkan keahlian yang sangat husus, karena merupakan kesenian yang cukup berbahaya.

i. Bajidoran
Bajidoran merupakan sebuah kesenian yang dalam memainkannya hampir sama dengan permainan musik modern, cuma lagu yang dialunkan merupakan lagu tradisional atau lagu daerah Jawa Barat serta alat-alat musik yang digunakannya adalah alat-alat musik tradisional Jawa Barat seperti Gendang, Goong, Saron, Bonang, Kacapi, Rebab, Jenglong serta Terompet.
Bajidoran ini biasanya ditampilkan dalam sebuah panggung dalam acara pementasan atau acara pesta.

j. Cianjuran
Cianjuran merupakan kesenian khas Jawa Barat. Kesenian ini menampilkan nyanyian yang dibawakan oleh seorang penyanyi, lagu yang dibawakannya pun merupakan lagu khas Jawa Barat. Masyarakat Jawa Barat memberikan nama lain untuk nyanyian Cianjuran ini yaitu Mamaos yang artinya bernyanyi.

k. Kacapi Suling
Kacapi suling adalah kesenian yang berasal dari daerah Jawa Barat, yaitu permainan alat musik tradisional yang hanya menggunakan Kacapi dan Suling. Kacapi suling ini biasanya digunakan untuk mengiringi nyanyian sunda yang pada umumnya nyanyian atau lagunya dibawakan oleh seorang penyanyi perempuan, yang dalam bahasa sunda disebut Sinden.

l. Reog
Di daerah Jawa Barat terdapat kesenian yang disebut Reog, kesenian ini pada umumnya ditampilkan dengan bodoran, serta diiringi dengan musik tradisional yang disebut Calung. Kesenian ini biasanya dimainkan oleh beberapa orang yang mempunyai bakat melawak dan berbakat seni. Kesenian ini ditampilkan dengan membawakan sebuah alur cerita yang kebanyakan cerita yang dibawakan adalah cerita lucu atau lelucon.



1. Kesimpulan

Suku Sunda yang berada di daerah Jawa Barat merupakan suku yang memiliki berbagai kebudayaan, mulai dari adat istiadat sehari-hari, kesenian, acara ritual, dan lain-lain.
Semua itu membuktikan bahwa suku sunda merupakan suku yang kaya akan budaya daerah.
Diantara sekian banyak kebudayaan yang dimiliki suku sunda, ada beberapa kebudayaan yang sangat populer, diantaranya adalah sebagai berikut :

1.  Pakaian adat khas Barat yang disebut Kebaya
2. Wayang Golek
3. Jaipong
4. Degung
5. Rampak Gendang
6. Calung
7. Pencak Silat
8. Sisingaan
9. Kudalumping
10. Bajidoran
11. Cianjuran
12. Kacapi Suling, dan
13. Reog.
Tidak hanya dibidang kesenian, suku sunda juga memmiliki berbagai macam budaya daerah yang sangat menarik.





2. Saran

Budaya daerah merupakan faktor utama berdirinya kebudayaan nasional, maka segala sesuatu yang terjadi pada budaya daerah akan sangat mempengaruhi budaya nasional. Atas dasar itulah, kita semua mempunyai kewajiban untuk menjaga, memelihara dan melestarikan budaya baik budaya lokal atau budaya daerah maupun budaya nasional, karena budaya merupakan bagian dari kepribadian bangsa.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

MAKALAH 2 BUAT TUGAS IBD

MAKALAH TUGAS IBD
Judul “
KETERKAITAN KEGIATAN BERBAHASA, BERFIKIR, DAN BERBUDAYA DALAM KEGIATAN KESEHARIAN MASYARAKAT PEMAKAI BAHASA







Nama : Dede Edwin Hidayat
Kelas : 1KA24
NPM : 11111793


“ UNIVERSITAS GUNADARMA
BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Bahasa tidak dapat terlepas dari budaya yang dibuktikan oleh Blom dan Gumperz (Sumarsono dan Partana, 2002:338). Dalam bahasa Sapir dan Whorf, disebutkan bahwa bahasa itu mempengaruhi cara berpikir dan bertindak anggota masyarakat penuturnya. Apa yang dilakukan manusia selalu dipengaruhi oleh sifat-sifat bahasanya.
Maka dari itu, Penulis melakukan penelitian tentang “Bagaimana Keterkaitan Antara Kegiatan Berbahasa, Berfikir, dan Berbudaya Dalam Kegiatan Keseharian Masyarakat Pemakai Bahasa”.

1.2  Perumusan Masalah
Dari sekian banyak permasalahan yang ada tidak mungkin Penulis dapat membahasnya secara keseluruhan. Karena mengingat kemampuan yang ada baik intelektual, biaya dan waktu yang dimiliki Penulis sangat terbatas. Maka Penulis perlu memberikan batasan-batasan masalah, pembatasan masalah diperlukan untuk memperjelas permasalahan yang ingin dipecahkan, yaitu :
§  Bagaimana keterkaitan antara kegiatan berbahasa, berfikir, dan berbudaya dalam kegiatan keseharian rmasyarakat pemakai bahasa?


1.3  Metode dan Teknik
§  Metode yang digunakan Penulis untuk mendapatkan sumber yang ada dalam karya tulis ini adalah dengan cara melakukan studi pustaka.
§  Teknik yang digunakan adalah dengan membaca buku sumber.

1.4  Tujuan Penulisan
Menyimak latar belakang masalah, perumusan masalah dan pembatasan masalah yang telah diuraikan di atas maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
§  Mengetahui bagaimana keterkaitan antara kegiatan berbahasa, berfikir, dan berbudaya dalam kegiatan keseharian masyrakat pemakai bahasa.

1.5  Manfaat Penelitian
Merujuk pada tujuan penulisan di atas, maka penelitian ini sekurang-kurangnya diharapkan dapat memberikan beberapa kegunaan, antaralain sebagai berikut :
1.      Manfaat teoritis, dapat memperkaya konsep atau teori-teori yang menyokong perkembangan ilmu Psikolingiuistik dengan menitikberatkan pada “Keterkaitan Kegiatan Berbahasa, Berfikir, dan Berbudaya Dalam Kegiatan Keseharian Masyarakat Pemakai Bahasa”.
2.      Manfaat praktis, dapat memberikan masukan yang berarti bagi Penulis baik individu, maupun kelompok.









BAB II
LANDASAN TEORI


2.1 Pengertian
Bahasa adalah media manusia berpikir secara abstrak yang memungkinkan objek-objek faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol abstrak. Dengan adanya transformasi ini, maka manusia dapat berpikir mengenai sebuah objek, meskipun objek itu tidak terinderakan saat proses berpikir itu dilakukan olehnya. (Surya Sumantri; 1998).
Menurut Abdul Chaer, (Psikolinguistik; 2002) Berbahasa adalah penyampaian pikiran atau perasaaan dari orang yang berbicara mengenai masalah yang dihadapi dalam kehidupan budayanya.
Budaya adalah pikiran, akal budi, yang di dalamnya juga termasuk adat istiadat (KBBI, 2005:169).
Beberapa teori hubungan antara bahasa dan berpikir, yaitu :
a)      Teori Wilhelm Von Humboldt
Wilman helm Von Humboldt, sarjana jerman abad ke-19, menekankan adanya ketergantungan pemikir manusia pada bahasa. Maksudnya, pandangan hidup dan budaya masyarakat ditentukan oleh bahasa masyarakat itu sendiri. Anggota-anggota masyarakat itu tidak dapat menyimpang lagi dari garis-garis yang telah ditentukan oleh bahasanya itu. Kalau salah seorang dari anggota masyarakat ini ingin mengubah pandangan hidupnya, maka dia harus mempelajari dulu satu bahasa lain. Maka dengan demikian dia akan menganut cara berpikir (dan juga budaya) masyarakat bahasa lain.
Mengetahui bahasa itu sendiri Von Humbolt berpendapat bahwa substansi bahasa itu terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berupa bunyi-bunyi, dan bagian lainnya berupa pikiran-pikiran yang belum terbentuk. Bunyi-bunyi dibentuk oleh lautform, dan pikiran-pikiran dibentuk oleh ideeform atau innereform. Jadi, bahasa menurut Von Humboldt merupakan sintese dari bunyi(lautform) dan pikiran (ideeform).
Dari keterangan itu bias disimpulkan bahwa bunyi bahasa merupakan bentuk-luar, sedangkan pikiran adalah bentuk-dalam. Bentuk-luar bahasa itulah yang kita dengar, sedangkan bentuk dalam-bahasa berada di dalam otak. Kedua bentuk inilah yang’’membelenggu’’ manusia, dan menentukan cara berpikirnya. Dengan kata lain, Von Humboldt berpendapat bahwa struktur suatu bahasa menyatakan kehidupan dalam( otak,pemikir) penutur bahasa itu.

b)      Teori Sapir-Whorf
Edward Sapir (1884-1939) linguis Amerika memiliki pendapat yang hampir sama dengan Von Humboldt. Sapir mengatakan bahwa manusia hidup di dunia ini di bawah ’’belas kasih’’ bahasanya yang telah menjadi alat pengantar dalam kehidupannya bermasyarakat. Menurut sapir, telah menjadi fakta bahwa kehidupan suatu masyarakat sebagian ’’didirikan’’ diatas tabiat-tabiat dan sifat-sifat bahasa itu. Karena itulah, tidak ada dua buah bahasa yang sama sehingga dapat dianggap mewakili satu masyarakat yang sama.
Benjamin Lee Whorf (1897-1941), murid sapir, menolak pandangan klasik mengenai hubungan bahasa dan berpikir yang mengatakan bahwa bahasa dan berpikir merupakan dua hal yang berdiri sendiri-sendiri.
Sama halnya dengan Von Humboldt dan sapir, Whorf juga menyatakan bahwa bahasa menentukan pikiran seseorang sampai kadang-kadang bisa membahayakan dirinya sendiri. Sebagai contoh, whorf yang bekas anggota pemadam kebakaran menyatakan ’’kaleng kosong’’ bekas minyak bisa meledak. Kata kosong digunakan dengan pengertian tidak ada minyak di dalamnya.
Setelah meneliti bahasa hopi, salah satu bahasa Indian di California Amerika Serikat, dengan mendalam, whorf mengajukan satu hipotesis yang lazim disebut hipotesis Whorf (atau juga hipotesis Sapir-Whorf) mengenai relatifitas bahasa. Menurut hipotesis itu, bahasa-bahasa yang berbeda’’membedah’’ alam ini dengan cara yang berbeda, sehingga terciptalah satu relatifitas sistem-sistem konsep yang tergantung pada bahasa-bahasa yang beragam itu.

c)      Teori Jean Piaget
Berbeda dengan pendapat Sapir dan Whorf, Piaget, sarjana perancis, berpendapat justru pikiranlah yang membentuk bahasa. Tanpa pikiran bahasa tidak aka nada. Pikiranlah yang menentukan aspek-aspek sintaksis dan leksikon bahasa: bukan sebaliknya.
Piaget yang mengembangkan teori pertumbuhan kognisi (Piaget, 1962) menyatakan jika seseorang anak-anak dapat menggolongkan sekumpulan benda-benda tersebut dengan menggunakan kata-kata yang serupa dengan benda-benda tersebut, maka perkembangan kognisi dapat diterangkan telah terjadi sebelum dia dapat berbahasa.

d)     Teori L.S. Vygotsky
Vygotsky, sarjana bangsa Rusia, berpendapat adanya satu tahap perkembangan bahasa sebelum adanya pikiran, dan adanya satu tahap perkembangan pikiran sebelum adanya bahasa. Kemudian, kedua garis perkembangan ini saling bertemu, maka terjadilah secara serentak pikiran berbahasa dan bahasa berpikir. Dengan kata lain, pikiran dan bahasa pada tahap permulaan berkembang secara terpisah, dan tidak saling mempengaruhi. Jadi, mula-mula pikian berkembang tanpa bahasa, dan bahasa mula-mula berkembang tanpa pikiran. Lalu pada tahap berikutnya, keduanya bertemu dan bekerja sama, serta saling mempengaruhi. Begitulah anak-anak berpikir dengan menggunakan bahasa dan berbahasa dengan menggunakan pikiran.
Menurut Vygotsky dalam mengkaji gerak pikiran ini kita harus mengkaji dua bagian ucapan dalam yang mempunyai arti yang merupakan aspek semantic ucapan, dan ucapan luar yang merupakan aspek fonetik atau aspek bunyi-ucapan. Penyatuan dua bagian atau aspek ini sangat rumit dan kompleks.
Pikiran dan kata, menurut Vygotsky (1962:116) tidak dipotong dari satu pola. Struktur ucapan tidak hanya mencerminkan, tetapi juga mengubahnya setelah pikiran berubah menjadi ucapan.

e)      Teori Noam Chomsky
Mengenai hubungan bahasa dan pikiran Noam Chomsky mengajukan kembali teori klasik yang disebut Hipotesis nurani (Chomsky, 1957, 1965, 1968). Sebenarnya teori ini tidak secara langsung membicarakan hubungan bahasa dengan pemikiran, tetapi kita dapat menarik kesimpulan mengenai hal itu karena Chomsky sendiri menegaskan bahwa pengkajian bahasa membukakan perspektif yang baik dalam pengkajian proses mental (pemikiran) manusia. Hipotesis nurani mengatakan bahwa struktur bahasa-dalam adalah nurani. Artinya, rumus-rumus itu di bawa sejak lahir. Pada waktu seorang anak-anak mulai mempelajari bahasa ibu, dia telah dilengkapi sejak lahir dengan satu peralatan konsep dengan struktur bahasa-dalam yang bersifat unifersal.

f)       Teori Eric Lenneberg
Berkenaan dengan masalah hubungan bahasa dan berfikir, Eric mengajukan teori mengajukan teori yang disebut Teori Kemampuan Bahasa Khusus (Lenneberg, 1964). Menurut Lenneberg banyak bukti yang menunjukkan bahwa manusia menerima warisan biologi asli berupa kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang khusus untuk manusia, dan yang tidak ada hubungannya dengan kecerdasan dan pemikiran.
Lenneberg dalam Teori Kemampuan Bahasa Khusus telah menyimpulkan banyak bukti yang menyatakan bahwa upaya manusia untuk berbahasa didasari oleh biologi yang khusus untuk manusia dan bersumber pada genetik tersendiri secara asal. Namun, dalam bukunya yang ditulis kemudian (1967), beliau mulai cenderung beranggapan bahwa bahasa dihasilkan oleh upaya kognitif, bukan linguistik yang lebih luas, sehingga menyerupai pandangan Piaget.

g)      Teori Bruner
Berkenaan dengan masalah hubungan bahasa dan pemikiran, Bruner memperkenalkan teori yang disebutnya Teori Instrumentalisme. Menurut teori ini bahasa adalah alat pada manusia untuk mengembangkan dan menyempurnakan pemikir itu. Dengan kata lain, bahasa dapat membantu pemikiran manusia supaya dapat berpikir lebih sistematis.

h)       Kekontroversian Hipotesis Sapir-Whorf
Teori-teori atau hipotesis-hipotesis yang dibicarakan di atas tampak cenderung saling bertentangan. Teori pertama dari Von Humboldt mengatakan bahwa adanya pandangan hidup yang bermacam-macam adalah karena adanya keragaman sistem bahasa dan adanya system bahasa dan adanya system unifersal yang dimiliki oleh bahasa-bahasa yang ada di dunia ini. Teori kedua dari Sapir-Whorf menyatakan bahwa struktur bahasa nenentukan struktur pikiran. Teori ketiga dari Piaget Menyatakan bahwa struktur pikiran di bentuk oleh perilaku, dan bukan oleh struktur bahasa. Struktur pikiran mendahului kemampuan-kemampuan yang dipakai kemudian untuk berbahasa. Teori keempat dari Vygotsky menyatakan bahwa pada mulanya bahasa dan pikiran berkembang sendiri-sendiri dan tidak saling mempengaruhi; tetapi pada pertumbuhan selanjutnya keduanya saling mempengaruhi; bahasa mempengaruhi pikiran dan pikiran mempengaruhi bahasa. Teori kelima dari Chomsky menyatakan bahwa bahasa dan pemikiran adalah dua buah system yang bersaingan yang memiliki keotonomiannya masing-masing. Pada tingkat struktur-dalam bahasa-bahasa di dunia ini sama karena di dasari oleh system unifersal; tetpi pada tingkat struktur-luar bahasa-bahasa itu berbeda-beda. Teori ke enam dari Lennerberg mengatakan bahwa manusia telah menerima warisan biologi ketika dilahirkan, berupa kemampuan berkomunikasi dengan bahasa yang khusus untuk manusia; dan tidak ada hubungannya dengan kecerdasan atau pemikiran. Kemampuan berbahasa ini mempunyai korelasi yang rendah dengan IQ manusia. Teori ketujuh dari Bruner menyatakan bahwa bahasa adalah alat bagi manusia untuk berpikir, untuk menyempurnakan dan mengembangkan pemikirannya itu. Diantara teori atau hipotesis di atas barangkali hipotesis Sapir-Whorf-lah yang paling controversial. Hipotesis ini yang menyatakan bahwa jalan pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat ditentukan atau dipengaruhi oleh struktur bahasanya, banyak menimbulkan kritik dan reksi hebat dari para ahli filsafat, linguistik, psikologi, psikolinguistik, sosiologi, antropologi dan lain-lain.
Bahasa yang tidak dapat terlepas dari budaya juga dibuktikan oleh Blom dan Gumperz (Sumarsono dan Partana, 2002:338). Dalam bahasa Sapir dan Whorf, disebutkan bahwa bahasa itu mempengaruhi cara berpikir dan bertindak anggota masyarakat penuturnya. Apa yang dilakukan manusia selalu dipengaruhi oleh sifat-sifat bahasanya.
Berdasarkan penelitiannya pada tahun 1972 terhadap sebuah guyup di Norwegia yang menggunakan dialek lokal dan ragam regional bokmal (satu dari dua ragam baku bahasa Norwegia) terbukti bahwa masyarakat pengguna dialek masing-masing itu mengalami perbedaan penyampaian bahasa sebagai media komunikasi, terutama saat sampai pada di mana dan tujuan komunikatif apa mereka menggunakan bahasa tersebut. Ada bentuk-bentuk tertentu yang digunakan para penutur dari kedua dialek berbeda itu dalam menandai inferensi (simpulan) tak langsung terhadap komunikasinya, yang hanya dapat dipahami oleh penutur dari dialek tersebut. Karena itu, banyak pakar linguistik mengatakan bahwa bahasa mempengaruhi kebudayaan.


BAB III
PEMBAHASAN MASALAH


3.1 Bahasa, Berpikir dan Berbudaya
Berbahasa, berpikir, dan berbudaya adalah tiga hal atau tiga kegiatan yang saling berkaitan dalam kehidupan manusia.
·         Berbahasa
Bahasa adalah media manusia berpikir secara abstrak yang memungkinkan objek-objek faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol abstrak. Manusia dapat berpikir tanpa menggunakan bahasa, tetapi bahasa mempermudah kemampuan belajar dan mengingat, memecahkan persoalan dan menarik kesimpulan. Dengan bahasa individu mampu mengabstraksikan pengalamannya dan mengkomunikasikannya pada orang lain karena bahasa merupakan sistem lambang yang tidak terbatas yang mampu mengungkapkan segala pemikiran.
Berbahasa merupakan proses menyampaikan informasi dalam berkomunikasi. Dan berbahasa merupakan salah satu perilaku dari kemampuan manusia, sama dengan kemampuan dan perilaku untuk berfikir, bercakap-cakap, bersuara, ataupun bersiul.
·         Berpikir
Berpikir tidak dilakukan manusia sejak lahirnya. Walaupun kemampuan itu ada, pada umumnya mengikuti perkembangan fisik manusia secara biologis. Jadi, kemampuan berpikir pada manusia merupakan kemampuan potensial.
Manusia berpikir itu untuk tahu. Kalau ia berpikir tidak semestinya, mungkin ia tidak akan mencapai pengetahuan yang benar. Tak seorang pun yang mencita-citakan kekeliruan, tetapi kita ingin mencapai kebenaran dalam proses tahunya itu.

·         Berbudaya
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif.
Citra budaya yang bersifat memaksa membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka. Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.
Kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang semuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

3.2 Hubungan Antara Bahasa dan Proses Berpikir
Dalam penggunaan bahasa terjadi proses mengubah pikiran menjadi kode dan mengubah kode menjadi pikiran. Ujaran merupakan sintesis dari proses pengubahan konsep menjadi kode, sedangkan pemahaman pesan tersebut hasil analisis kode.
Bagi logika ucapan adalah buah pikiran. Pikiran hanya bisa berbuah jika dia diucapkan melalui suara, ucapan, tulisan, atau isyarat. Isyarat adalah perkataan yang dipadatkan, karena itu ia adalah perkataan juga.
Perilaku yang tampak dalam berbahasa adalah perilaku manusia ketika  berbicara dan menulis atau ketika dia memproduksi  bahasa, sedangkan perilaku yang tidak tampak adalah perilaku manusia ketika memahami yang  disimak atau dibaca sehingga menjadi sesuatu yang dimilikinya atau memproses sesuatu yang akan diucapkan atau ditulisnya. Dalam proses berbahasa terjadi proses memahami dan menghasilkan ujaran, yaitu berupa kalimat-kalimat. Pada hakikatnya dalam kegiatan berkomunikasi terjadi proses memproduksi dan memahami ujaran.
Semua bahasa yang diperoleh pada hakikatnya dibutuhkan untuk berkomunikasi. Manusia hanya akan dapat berkata dan memahami satu dengan lainnya dalam kata-kata yang terbahasakan. Bahasa memiliki orientasi yang subjektif dalam menggambarkan dunia pengalaman manusia. Orientasi inilah yang selanjutnya mempengaruhi bagaimana manusia berpikir dan berkata. Manusia sebagai pengguna bahasa dapat dianggap sebagai organisme yang beraktivitas untuk mencapai ranah-ranah psikologi, baik kognitif, afektif, maupun psikomotor. Kemampuan menggunakan bahasa baik secara reseptif (menyimak dan membaca) ataupun produktif (berbicara dan menulis) melibatkan ketiga ranah tadi.
Ranah kognitif yang berpusat di otak merupakan ranah yang yang terpenting. Ranah ini merupakan sumber sekaligus pengendali ranah-ranah kejiwaan lainnya, yaitu ranah afektif (rasa) dan ranah psikomotor (karsa).
Sapir dan Worf menguraikan dua hipotesis mengenai keterkaitan antara bahasa dengan pikiran, yaitu sebagai berikut.
a.       Perbedaan struktur bahasa secara umum paralel dengan perbedaan kognitif non-bahasa (nonlinguistic cognitive). Perbedaan bahasa menyebabkan perbedaan pikiran orang yang menggunakan bahasa tersebut.
b.      Struktur bahasa mempengaruhi cara inidvidu mempersepsi dan menalar dunia perseptual. Dengan kata lain, struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori dan struktur yang sudah ada dalam bahasa.
Pandangan manusia tentang dunia dibentuk oleh bahasa, sehingga karena bahasa berbeda, maka pandangan tentang dunia pun berbeda. Secara selektif individu menyaring sensori yang masuk seperti yang diprogramkan oleh bahasa yang dipakainya. Dengan begitu, masyarakat yang menggunakan bahasa yang berbeda memiliki perbedaan sensori pula.
Ketika manusia berkomunikasi dengan kata-kata, pada saat yang sama otak harus mencari, memilah, merumuskan, merapikan, mengatur, menghubungkan, dan menjadikan campuran antara gagasan-gagasan dengan kata-kata yang sudah mempunyai arti itu dapat dipahami. Pada saat yang sama, kata-kata ini dirangkai dengan gambar, simbol, citra (kesan), bunyi, dan perasaan. Sekumpulan kata yang bercampur aduk tak berangkai di dalam otak, keluar secara satu demi satu, dihubungkan oleh logika, diatur oleh tata bahasa, dan menghasilkan arti yang dapat dipahami.
Dapat dikatakan sebenarnya manusia dapat berpikir tanpa menggunakan bahasa, tetapi bahasa mempermudah kemampuan belajar dan mengingat, memecahkan persoalan, dan menarik kesimpulan. Bahasa memungkinkan individu menjadi peristiwa dan objek dalam bentuk kata-kata. Dengan bahasa, individu dapat mengabstraksikan pengalamannya dan mengkomunikasikannya kepada orang lain.

3.3 Hubungan Antara Bahasa dan Budaya
Budaya dapat diartikan sebagai sesuatu yang dihasilkan dari pikiran atau pemikiran. Maka tatkala ada ahli menyebutkan bahwa bahasa dan pikiran memiliki hubungan timbal-balik dapat dipahami bahwa pikiran di sini dimaksudkan sebagai sebuah perwujudan kebudayaan.
Setelah para ahli sepakat menyatakan bahwa bahasa adalah “alat” dalam berkomunikasi, sebagai alat tentunya ada yang menggunakan alat tersebut sehingga ia dapat dimanfaatkan (sebagai komunikasi). Dalam hal ini pengguna atau pemanfaat bahasa adalah manusia (terlepas kajian ada tidaknya bahasa juga digunakan oleh hewan) yang selanjutnya disebut sebagai penutur. Orang atau manusia yang mendengar atau yang menjadi lawan pentur disebut dengan “lawan tutur” atau “pendengar” atau “lawan bicara”. Dalam interaksi antara penutur dan lawan tutur inilah timbul beberapa perilaku berdasarkan pemikiran masing-masing sehingga lahirlah kebiasaan atau budaya. Budaya dan kebiasaan ini akan berbeda tergantung siapa dan dimana bahasa atau pengguna bahasa itu berada.
Dalam interaksi sosial, kita tidak jarang menemukan bahwa apa yang kita ucapkan atau kita sampaikan kepada lawan bicara tidak bisa dipahami dengan baik. Kegagalan memahami pesan ini disebabkan beberapa faktor, antara lain: beda usia, beda pendidikan, beda pengetahuan, dan lain-lain. Selain itu, faktor budaya juga berhubungan dengan bahasa. Kata “Kamu” dan “Kau” misalnya, diucapkan berbeda dalam konteks budaya berbeda. Sebutan “Bapak” di negara yang menggunakan bahasa pengantarnya adalah bahasa Inggris tidak cenderung digunakan. Masyarakat penutur bahasa Inggris akan langsung menggunakan sebutan nama diri/nama orang kepada lawan bicara yang lebih tua sekalipun. Hal yang wajar bagi masyarakat penutur bahasa Inggris ini tentu saja tabu jika dipakai oleh penutur bahasa Melayu atau Indonesia. Bahkan, akan lebih tabu lagi jika dipakai dalam masyarakat Aceh yang terkenal kental adat istiadatnya dalam menghormati orang lebih tua. Contoh lainnya dalam bahasa Inggris adalah kata “mati”. Bahasa Indonesia memiliki beberapa kata yang memiliki makna yang sama dengan maksud kata “mati” misal mampus, meninggal dunia, punah, mangkat, wafat, tewas, lenyap, dsb. Sedangkan dalam bahasa Inggris hanya ada dua kata saja, yaitu die dan pass away. Pemilihan kata-kata yang sesuai untuk kepentingan interaksi sosial sangat tergantung pada budaya tempat bahasa itu digunakan.
Ini sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Sumarjan & Partana (2002: 20) bahwa bahasa sering dianggap sebagai produk sosial atau produk budaya, bahkan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan itu. Sebagai produk sosial atau budaya tertentu, bahasa merupakan wadah aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, wadah penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu. Bahasa bisa dianggap sebagai cermin zamannya. Artinya, bahasa itu dalam suatu masa tertentu mewadahi apa yang terjadi dalam masyarakat, tergantung kultur daerah yang bersangkutan. Bahasa sebagai hasil budaya atau kultur mengandung nilai-nilai masyarakat penuturnya.

3.4 Keterkaitan Antara Kegiatan Berbahasa, Berpikir, dan Berbudaya Dalam Kegiatan Keseharian Masyarakat Pemakai Bahasa
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri.
Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskah-naskah kuno, dan untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bahasa pada hakekatnya mempunyai dua fungsi utama, yaitu sebagai sarana komunikasi antarmanusia dan sebagai sarana budaya yang mempersatukan kelompok manusia yang menggunakan bahasa tersebut. Fungsi yang pertama dapat kita sebut sebagai fungsi komunikasi dan fungsi yang kedua sebagai fungsi kohesif atau integratif. Pengembangan fungsi bahasa harus memperhatikan kedua fungsi ini agar terjadi keseimbangan yang saling menunjang dalam pertumbuhannya. Seperti manusia yang menggunakannya bahasa, harus terus tumbuh dan berkembang seiring dengan pergantian zaman. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.
Dalam kehidupan masyarakat pemakai bahasa pun, kita bisa mencerminkan adanya perbedaan dalam bahasa itu sendiri. Misalnya orang Jawa, orang Sunda dan orang Sumatera, mereka berbaur dalam satu lingkup kegiatan. Dan dalam berkomunikasi mereka masih mewarisi adat istiadat, tata krama ataupun tingkah laku yang mencerminkan budayanya. Tetapi dengan adanya perbedaan tersebut mereka bisa menyesuaikan tanpa menghilangkan budayanya. Sebagaimana juga budaya, bahasa merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Orang-orang tunarungu mencerminkan perbedaan dalam keberagaman yang ditemui dalam populasi pada umumnya, dengan lapisan tambahan berupa kompleksitas yang berhubungan dengan level dan tipe ketulian, keadaan pendengaran orang tua, akses dan kemampuan untuk menggunakan alat bantu, penggunaan bahasa berdasarkan isyarat atau suara, dan penggunaan bahasa isyarat yang bisa dipahami secara visual. Kompleksitas tersebut menyebabkab tantangan yang cukup sulit untuk menjalankan etika penelitian karena permasalahan tentang kekuatan yang melingkupi warisan budaya dan linguisik pada komunitas tunarungu.
    










BAB IV
PENUTUP


4.1 Simpulan
Seperti manusia yang menggunakannya bahasa, harus terus tumbuh dan berkembang seiring dengan pergantian zaman. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.
Bahasa merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Bahasa tidak dapat terlepas dari budaya yang dibuktikan oleh Blom dan Gumperz (Sumarsono dan Partana, 2002:338). Dalam bahasa Sapir dan Whorf, disebutkan bahwa bahasa itu mempengaruhi cara berpikir dan bertindak anggota masyarakat penuturnya. Apa yang dilakukan manusia selalu dipengaruhi oleh sifat-sifat bahasanya.












DAFTAR PUSTAKA


Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul.2003. Psikolinguistik, Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Sumarsono dan Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA dan Pustaka Pelajar.
http://www.slideshare.net/awangga/psikolinguistik-untuk-s2r-ev2
http://www.pdfqueen.com/pdf/me/psikolinguistik













  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS