Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Surat untuk sang Ayah

Surat untuk Sang Ayah

Surat cinta ini kubuat untuk mengungkapkan perasaanku untuk Ayah yang terkadang tak dapat kusampaikan secara langsung. Kuingin Ayah tahu apapun yang terjadi, aku akan selalu mencintai Ayah. Ayah, maafkan aku jika aku tidak bisa menjadi seperti yang kau harapkan, tapi aku berjanji untuk terus menjadi yang terbaik dimatamu. Ayah, maafkan bila aku tak sekuat yang kau bayangkan, karna sesungguhnya aku masih berusaha dan belajar untuk mendaki gunung kehidupan ini. Aku masih berusaha mengejar jejak Ayah yang sudah jauh di atasku. Ayah, maafkan aku jika aku menangis, itu karna aku membutuhkanmu untuk menggenggam tanganku dan membantuku menapaki jalan pendakianku. Jangan marahi aku, karna sesungguhnya rapuhnya aku adalah pertanda bahwa aku masih membutuhkanmu untuk mendekapku dan menguatkanku.
Ayah, maafkan aku jika terkadang aku terlihat kesal dengan sikapmu, sungguh aku tidak bermaksud untuk menampakkan ekspresi itu. Maafkan aku Ayah. Beri aku waktu untuk mencerna makna tersirat yang kau berikan, jangan melihatku dengan tatapan kecewa. Ayah, sesungguhnya aku takut akan amarahmu, tak pernah aku menginginkan untuk dibenci olehmu, namun aku hanyalah manusia biasa yang memiliki banyak kesalahan. Kumohon kau bersedia memaafkanku ayah.
Ayah, surat ini tidak kubuat untuk meminta belas kasihanmu, tidak Ayah, bukan untuk itu. Surat ini kubuat untuk menunjukkan rasa sayangku padamu, surat ini kubuat untuk permohonan maafku padamu. Maafkan aku Ayah. Ayah, kau adalah pelatih terbaikku, yang melatihku untuk menghadapi kejamnya dunia ini. Yang mengajariku untuk berpikir skeptik, yang mengajariku untuk terus menuntut ilmu, yang mengajariku untuk tidak takut ketika seluruh dunia membenciku selama Allah dan RasulNya tidak, terimakasih ayah. Ayah, aku masih ingat ketika itu aku yang masih SD menangis setelah Ayah marahi, kemudian Ayah datang dengan membawa bola tenis. Ayah lemparkan bola itu ke bantal dan bola itu tidak melambung. Lalu Ayah lemparkan bola itu ke lantai dan ia melambung tinggi. Kemudian Ayah katakan padaku, "mbak itu seperti bola tenis ini, jika ingin melambung ya tidak bisa berlandaskan bantal yang empuk, mau tidak mau harus mendapatkan hantaman dari lantai yang keras."
Ayah perlu kau tahu dibalik tangisanku, dibalik raut wajah cemberutku, sesungguhnya aku sadar bahwa kau mencintaiku dengan caramu sendiri. Aku sadar bahwa kau menginginkanku untuk menjadi kuat. Ayah... menangis bukan berarti lemah, hanya saja ada saat-saat dimana seseorang membutuhkannya untuk melepaskan sejenak beban di pundaknya, termasuk aku, Ayah. Termasuk Ibu juga. Mungkin Ayah juga begitu? Aku tak pernah tahu. Jangan kau anggap tangisku pertanda lemahnya diriku, Ayah. Dalam diriku aku tetap tidak menyerah untuk mendaki, meskipun berbagai pengorbanan harus kulakukan untuk mengejarmu yang sudah jauh di depanku.

Ayah, aku mengerti kau akan mendidikku dengan caramu sendiri. Aku paham. Terkadang kau menuntunku untuk melalui jalur keras yang dulu pernah kau tapaki, ayah. Mungkin aku akan sedikit tersengal-sengal melewatinya, kumohon kau bersabar. Dan tetaplah mendukungku, kumohon jangan kau jatuhkan aku. Tuntun aku selangkah demi selangkah, jangan kau paksa aku untuk langsung berlari. Ayah, jika ada yang tak kau suka dariku, katakan saja terus terang, dan beri tahu aku apa yang seharusnya kulakukan. Ayah tahu, Ayah bisa bercerita apapun padaku, Ayah tidak sendiri, Ayah punya aku, ibu, dan adik-adik. Ayah tidak harus menanggung semuanya sendirian, tidak apa-apa Ayah menangis, tak ada yang memaksa Ayah untuk terus tegar. Andai aku ada disana, aku akan langsung memeluk Ayah. 

Ayah, aku kangen. Aku kangen dipeluk Ayah setelah dimarahi, rasanya sudah lama hal itu tidak kudapatkan. Maukah kau berjanji untuk memelukku setiap habis memarahiku? Dengan begitu, aku tidak akan merasa benci padamu, aku tidak mau membenci Ayah, aku sayang Ayah. Ayah, apapun masalahnya, berjanjilah padaku bahwa kita akan menghadapinya bersama-sama. Aku sayang ayah J

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar