Surat untuk Sang Ayah
Surat
cinta ini kubuat untuk mengungkapkan perasaanku untuk Ayah yang terkadang tak
dapat kusampaikan secara langsung. Kuingin Ayah tahu apapun yang terjadi, aku
akan selalu mencintai Ayah. Ayah, maafkan aku jika aku tidak bisa menjadi
seperti yang kau harapkan, tapi aku berjanji untuk terus menjadi yang terbaik
dimatamu. Ayah, maafkan bila aku tak sekuat yang kau bayangkan, karna
sesungguhnya aku masih berusaha dan belajar untuk mendaki gunung kehidupan ini.
Aku masih berusaha mengejar jejak Ayah yang sudah jauh di atasku. Ayah, maafkan
aku jika aku menangis, itu karna aku membutuhkanmu untuk menggenggam tanganku
dan membantuku menapaki jalan pendakianku. Jangan marahi aku, karna
sesungguhnya rapuhnya aku adalah pertanda bahwa aku masih membutuhkanmu untuk
mendekapku dan menguatkanku.
Ayah,
maafkan aku jika terkadang aku terlihat kesal dengan sikapmu, sungguh aku tidak
bermaksud untuk menampakkan ekspresi itu. Maafkan aku Ayah. Beri aku waktu
untuk mencerna makna tersirat yang kau berikan, jangan melihatku dengan tatapan
kecewa. Ayah, sesungguhnya aku takut akan amarahmu, tak pernah aku menginginkan
untuk dibenci olehmu, namun aku hanyalah manusia biasa yang memiliki banyak
kesalahan. Kumohon kau bersedia memaafkanku ayah.
Ayah,
surat ini tidak kubuat untuk meminta belas kasihanmu, tidak Ayah, bukan untuk
itu. Surat ini kubuat untuk menunjukkan rasa sayangku padamu, surat ini kubuat
untuk permohonan maafku padamu. Maafkan aku Ayah. Ayah, kau adalah pelatih
terbaikku, yang melatihku untuk menghadapi kejamnya dunia ini. Yang mengajariku
untuk berpikir skeptik, yang mengajariku untuk terus menuntut ilmu, yang
mengajariku untuk tidak takut ketika seluruh dunia membenciku selama Allah dan
RasulNya tidak, terimakasih ayah. Ayah, aku masih ingat ketika itu aku yang
masih SD menangis setelah Ayah marahi, kemudian Ayah datang dengan membawa bola
tenis. Ayah lemparkan bola itu ke bantal dan bola itu tidak melambung. Lalu
Ayah lemparkan bola itu ke lantai dan ia melambung tinggi. Kemudian Ayah
katakan padaku, "mbak itu seperti bola tenis ini, jika ingin melambung ya
tidak bisa berlandaskan bantal yang empuk, mau tidak mau harus mendapatkan
hantaman dari lantai yang keras."
Ayah
perlu kau tahu dibalik tangisanku, dibalik raut wajah cemberutku, sesungguhnya
aku sadar bahwa kau mencintaiku dengan caramu sendiri. Aku sadar bahwa kau
menginginkanku untuk menjadi kuat. Ayah... menangis bukan berarti lemah, hanya
saja ada saat-saat dimana seseorang membutuhkannya untuk melepaskan sejenak
beban di pundaknya, termasuk aku, Ayah. Termasuk Ibu juga. Mungkin Ayah juga
begitu? Aku tak pernah tahu. Jangan kau anggap tangisku pertanda lemahnya
diriku, Ayah. Dalam diriku aku tetap tidak menyerah untuk mendaki, meskipun
berbagai pengorbanan harus kulakukan untuk mengejarmu yang sudah jauh di
depanku.
Ayah,
aku mengerti kau akan mendidikku dengan caramu sendiri. Aku paham. Terkadang
kau menuntunku untuk melalui jalur keras yang dulu pernah kau tapaki, ayah.
Mungkin aku akan sedikit tersengal-sengal melewatinya, kumohon kau bersabar.
Dan tetaplah mendukungku, kumohon jangan kau jatuhkan aku. Tuntun aku selangkah
demi selangkah, jangan kau paksa aku untuk langsung berlari. Ayah, jika ada
yang tak kau suka dariku, katakan saja terus terang, dan beri tahu aku apa yang
seharusnya kulakukan. Ayah tahu, Ayah bisa bercerita apapun padaku, Ayah tidak
sendiri, Ayah punya aku, ibu, dan adik-adik. Ayah tidak harus menanggung
semuanya sendirian, tidak apa-apa Ayah menangis, tak ada yang memaksa Ayah
untuk terus tegar. Andai aku ada disana, aku akan langsung memeluk Ayah.
Ayah,
aku kangen. Aku kangen dipeluk Ayah setelah dimarahi, rasanya sudah lama hal
itu tidak kudapatkan. Maukah kau berjanji untuk memelukku setiap habis
memarahiku? Dengan begitu, aku tidak akan merasa benci padamu, aku tidak mau
membenci Ayah, aku sayang Ayah. Ayah, apapun masalahnya, berjanjilah padaku
bahwa kita akan menghadapinya bersama-sama. Aku sayang ayah J.
0 komentar:
Posting Komentar