Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

MEDIA SOSIAL

                Sebagian besar kita kini tak mampu mengelak secara tegas jika disodorkan dua pilihan: membuat atau tidak membuat akun di situs jejaring sosial. Pilihan untuk tidak membuat akun menjadi sangat sulit dan berat ketika hampir setiap lini kehidupan kita sudah “dikepung” oleh fitur-fitur pertemanan itu. Bahkan, ada yang sampai pada posisi tak mampu menghindar, apalagi berkata “tidak” pada “mahluk” bernama Facebook, Twitter, atau BBM (BlackBerry Messenger). Hingga kemudian pilihan untuk membuat akun merupakan pilihan yang terkesan sangat logis–di tengah keterpaksaan bagi sebagian orang–jika kita tak mau dibilang ketinggalan zaman.

                Untuk sekadar menguji asumsi di atas, cobalah dalam satu hari Anda biarkan gadget yang Anda punya tak terhubung internet. Apa yang terjadi? Cobalah dalam hari yang sama Anda tidak melakukan pembaharuan di akun media sosial Anda. Kemudian tambahkan menjadi dua hari. Tambahkan menjadi tiga hari. Lihat apa yang terjadi? Apa yang Anda rasakan?

                Mungkin memang tidak akan ada yang bakal terjadi secara drastis atau dramatis. Anda memang masih akan baik-baik saja. Namun jujurlah, dalam hati Anda pasti ada satu perasaan kangen. Ada rasa kehilangan.
Sebuah riset dilakukan oleh lembaga independen dari Universitas Maryland, Amerika Serikat (AS) terhadap sejumlah mahasiswa di kampus itu. Mereka diminta untuk tidak menggunakan media sosial selama 24 jam. Hasilnya positif menunjukkan para mahasiswa merasa kehilangan sumber berita utama mereka. Merasa kehilangan kontak dengan dunia tanpa berita yang bisa mereka akses. Negatifnya, mereka merasa panik, cemas, gelisah, sedih, dan seperti hilang kendali atas kesadaran diri.


Manfaat dan Mudharat
                Beragam riset tentang efek media sosial telah banyak dilakukan. Efek media sosial terutama terhadap pelajar memang masih menjadi perdebatan. Ada yang secara optimis menyatakan sosial media sangat positif untuk siswa. Sebaliknya, ada juga yang secara tegas memvonis negatif terhadap efek media sosial bagi anak-anak. Memang tidak mudah untuk menjawab pertanyaan, apakah media sosial berpengaruh buruk terhadap siswa? Atau memberikan dampak yang baik bagi kehidupan mereka?
Seperti dirilis oleh Education Database Online Blog (onlineeducation.net), setidaknya ada 2 aspek yang banyak menjadi perhatian riset tentang efek media sosial terhadap siswa yaitu efek media sosial terhadap prestasi belajar  dan kesehatan mental siswa. Hasil riset menunjukkan bahwa kelas yang aktif menggunakan twitter menunjukkan raihan nilai yang lebih tinggi. Namun ini terkait dengan kolaborasi mereka secara online dalam belajar. Sebaliknya, siswa yang mencoba belajar ketika menggunakan facebook menunjukkan penuruan nilai dengan 20% lebih rendah. Dengan kata lain riset ini menyimpulkan bahwa twitter lebih positif dampaknya bagi siswa dibanding facebook.

Terkait dengan efek sosial media terhadap kegiatan ekstrakurikuler, riset ini menyebutkan bahwa siswa pengguna facebook memiliki kemungkinan lebih aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler. Namun pada sisi lain penggunaan facebook membuat siswa lebih konsumtif. Hasil yang menarik menunjukkan bahwa 85 persen pengguna facebook hanya bekerja 5 jam dalam sepekan. Sedangkan non-facebooker, 80 persen dari mereka bekerja 18 jam dalam sepekan. Apakah ini berarti  bahwa penggunaan facebook lebih banyak membuang waktu?

Riset ini kemudian menggambarkan efek media sosial terhadap emosi atau kesehatan mental penggunanya. 20 persen pengguna media sosial merasakan adanya hubungan dengan institusi pendidikan mereka dan lebih merasa populer. Namun pada sisi lain, 48 persen penggunan Facebook merasa lebih sedih dibandingkan dengan teman mereka. Bahkan 25 persen mahasiswa memperlihatkan depresi yang serius dalam update status mereka.
               
                Efek berikutnya dari media sosial adalah berkaitan dengan self esteem atau percaya diri. Update profile pada Facebook dapat meningkatak kepercayaan diri siswa. Percaya diri ini jauh melebihi dari yang dirasakan saat mereka berdiri di depan cermin. Namun siswa menjadi lebih narsis alias membanggakan diri secara berlebihan. Siswa yang lebih banyak menggunakan Facebook menjadi lebih narsis.
Media sosial juga diteliti  pengaruhnya terhadap kebiasaan belajar. 1 dari 3 siswa yang menggunakan twitter memanfaatkannya untuk kepentingan belajar. Sementara siswa yang memakai Facebook lebih sedikit belajar dibanding yang tidak menggunakan Facebook.

Dari riset yang dirilis oleh Education Database Online Blog (onlineeducation.net) ada dua hal menarik yang dicatat. Pertama, bahwa media sosial sebagai sebuah media efek baik buruknya sangat tergantung pada pengguna dan cara menggunakannya. Oleh karena itu jawaban untuk pertanyaan apakah media sosial berpengaruh positif atau negatif bagi siswa, bisa ya bisa tidak. Sangat subyektif. Kedua, di antara dua media sosial paling populer yaitu Twitter dan Facebook, Twitter lebih banyak berdampak positif daripada Twitter. Apakah hasil penelitian ini bisa digeneralisasi dan dijadikan standar? Tentu saja jawabannya tidak sederhana. Tetapi paling tidak hasil riset ini bisa dijadikan pertimbangan terutama bagi guru dan orang tua.

Riset lain yang dilakukan oleh Bits Pedia Easy Learning menarik untuk dikaji. 63 persen responden mengaku lebih sering menggunakan media sosial tanpa terencana sebelumnya. 77 persen menyadari bahwa media sosial menyia-nyiakan waktu penting mereka. 61 persen mengalami kurang mampu mengontrol diri dan fokus pada pekerjaan karena penggunaan media sosial yang berlebihan. 75 persen kehilangan fokus untuk mencari hal penting di internet dan “tersesat” mencari hal-hal yang tidak penting. 75 persen mengaku media sosial membuat mereka ketagihan. 51 persen mengaku menyalakan komputer tanpa kejelasan apa yang akan dilakukan. Tapi untungnya, 78 persen dari responden merasa perlu belajar penggunaan media sosial untuk meningkatkan produktifitas. Sementara 22 persen sisanya beranggapan media sosial hanya untuk bersenang-senang (just for fun).

                Dari dua hasil riset ini, penggunaan media sosial tanpa tujuan dan pengatahuan yang cukup mengenai fungsinya cenderung berdampak negatif.


Kedewasaan
                Riset lain tentang efek media sosial dilakukan oleh Funy Dhia Raisha W, mahasiswa IT Telkom melalui sebuah riset online. Hasil menarik dari riset tersebut berkaitan dengan dampak negatif media sosial dan tingkat kedewasaan penggunanya. Semakin matang tingkat kedewasaan pengguna  facebook atau twitter atau media lainnya, semakin positif efek dari media sosial tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan persentase dampak negatif media sosial bagi siswa SD yang mencapai 43 persen dan siswa SMP tidak terpaut jauh, hanya 40 persen. Pada tingkat SLTA dan Perguruan Tinggi, dampak negatif berkurang secara signifikan ke angka 7 persen dan 5 persen. Sebaliknya, tingkat kedewasaan siswa SLTA dan Mahasiswa membuat media sosial lebih banyak berdampak positif yang ditunjukkan dengan angka riset 36 persen dan 65 persen. Adapun untuk siswa SD dan SLTP hanya berdampak positif 29 persen.


Hukum Syara’
                Lalu bagaimana hukum penggunaan media sosial menurut Islam?
Dari tiga hasil riset di atas dapat digarisbawahi sebuah fakta mengenai media sosial, yaitu memiliki potensi baik dan buruk. Ketentuan hukum syara’ untuk perkara seperti ini tidak terletak pada perkara tersebut, melainkan pada faktor ekseternal (amrun khariji) yang berkaitan dengan penggunaannya. Kaidah fiqhiyah lil wasaaili hukmul maqaashid bisa dijadikan acuan dalam menyikapi obyek-obyek hukum seperti ini.

                Kaidah tersebut mengajarkan bahwa hukum setiap media dan alat sama dengan hukum tujuan penggunaannya. Bila tujuan penggunaan sebuah media adalah perkara yang haram, maka haram pula hukum media tersebut. Maka berkaitan dengan media social semacam twitter dan facebook juga berlaku ketentuan yang sama. Dengan demikian, setiap pengguna media sosial harus jujur pada dirinya tentang tujuan penggunaan media tersebut. Jujur pula pada setiap kalimat yang ditweetkan dan setiap ungkapan yang diupdatekan. Pada sisi inilah kematangan, kedewasaan dan kebijakan seseorang sangat menentukan maslahat dan madarat hingga halal dan haram media sosial bagi dirinya.
               
                Berpegang pada aspek tujuan penggunaan seperti ini sungguh sangat subyektif. Hanya isi dari time linetwiiter dan facebook seseorang lah yang bisa menjadi saksi atas tujuan-tujuannya (maqaashid). Untuk itu perlu dipertimbangkan aspek lainnya, yaitu dampak yang ditimbulkan oleh media sosial tersebut. Ada dua dampak yang patut dijadikan acuan, yaitu dampak yang dialami secara pribadi dan dampak oleh rata-rata pengguna.

                Karena media sosial memiliki dua dampak, yaitu positif dan negatif maka ada dua kecenderungan yang mungkin menjadi orientasi pengguna media sosial. Kecenderungan pertama berorientasi pada manfaat yang bisa diraih dari media sosial. Dengan kecenderungan ini, seseorang akan lebih memilih menggunakan media sosial sebab melihat dampak-dampak positif yang bisa dia peroleh. Dalam ilmu Ushul Fiqih, oreintasi seperti ini disebut jalbul mashaalih.

Kecenderungan kedua berorientasi pada madarat yang bisa timbul karena penggunaan media sosial. Karena yang dilihat adalah sisi negatif dari media sosial maka seseorang akan lebih memilih tidak menggunakan atau tidak memiliki akun media sosial. Menghindar adalah cara yang dipilih untuk terbebas dari efek negatif media sosial. Orientasi seperti ini disebut Dar’ul Mafaasid.
Lalu orientasi mana yang harus dijadikan pedoman?
Kaidah Dar’ul Mafaasid Muqaddamun ‘alaa Jalbil Mashaalih memandu kita untuk menentukan pilihan yang tepat. Menolak dan menghindari efek negatif, lebih baik dan harus didahulukan daripada mencari dan mendapatkan efek positif. Dengan kaidah ini maka menghindari efek negatif media sosial harus diprioritaskan daripada mencari efek positifnya sebab efek negatif dari media sosial mungkin pula akan menggiring penggunanya kepada perkara yang haram. Inilah hikmah yang dapat dipahami dari penerapan kaidah tersebut dalam penggunaan media sosial. Para pengguna media sosial dari kalangan pelajar atau mereka yang belum memiliki kedewasaan dalam menggunakan media sosial, sangat tepat menerapkan kaidah ini.
Peran Orang Tua
Pada riset yang dikutip dalam tulisan ini, anak-anak usia SD dan SLTP memiliki kecenderungan lebih terpengaruh oleh efek negatif media sosial dari oleh efek positifnya. Untuk itu maka peran orang tua sangat penting dalam mengenalkan, membimbing, dan mengawasi penggunaan media sosial oleh anak-anaknya. Bila efek negatif media sosial mulai terlihat dalam diri anak, seperti lalai terhadap shalat, malas belajar, update status dengan kata-kata yang kotor dan kasar dan berinteraksi berlebihan dengan lawan jenis, maka orang tua harus bersikap tegas dan berani berkata tidak kepada anak. Efek positif media sosial bagi anak bisa digantikan dengan atau melalui media lain. Tetapi efek negatif media sosial akan menjadi parasit yang menggerogoti kesehatan fisik dan mental anak.
Selain itu, karena media sosial telah menjadi kebutuhan di era teknologi informasi ini, maka orang tua juga perlu memberikan edukasi kepada anak tentang cara-cara yang baik dan positif dalam menggunakan media sosial. Mengajari anak update status dengan kata-kata, kalimat, dan ungkapan yang sarat pesan kebaikan menjadi bagian dari pendidikan anak dalam keluarga di era ini.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar