Melihat sekilas, kamera ini kamera main-main.
Mungkin ada yang menganggap kamera dari Mekkah, khas oleh-oleh yang baru datang
dari tanah suci. Tapi sebenarnya, kamera ini tangguh. Asal, bersama
aksesorisnya. Jika hanya bodi saja, daya gunanya tak maksimal. Itulah kamera
GoPro. Tentang kamera ini ada banyak review-nya di internet, khususnya yang
berbahasa Inggris.
Tak pernah berpikir ada kamera jenis
ini. Nanti pernah ada tamu yang datang ke rumah mengenalkan kamera aksi ‘action
camera’, wawasan itu baru ada. Untuk berpikir menjadi salah satu alat kerja tak
terlalu utama. Belakang, setelah ada banyak publikasi mengenai kamera aksi di
Youtube, harapan itu mulai ada. Khususnya tentang kamera GoPro Hero 3, yang
publikasinya di dunia maya cukup masif. Menggoda untuk memilikinya.
Butuh waktu hampir dua tahun hingga
akhirnya bisa memiliki jenis kamera ini, sebagai salah satu kelengkapan alat
kerja di lapangan. Ya, memang saya sudah memiliki Nikon D300s beserta
housing-nya serta Nikon Coolpix AW-100 yang walau tanpa housing bisa dibawa
menyelam di kedalaman 10 meter ke bawah serta ada fasilitas GPS. Tapi, ada
beberapa ‘kelemahan’ dua kamera tersebut dibanding kamera aksi GoPro. Demikian
juga sebaliknya. Apa itu?
Kamera ukurannya kecil, seukuran wadah
korek api GoGo, tapi GoPro lebih tebal setengah senti. Lebih tampak sebagai
mainan daripada kamera serius untuk profesional. Kedua, tak ada lubang intip
(view finder) atau LCD untuk melihat bagaimana posisi obyek (kecuali membeli
khusus LCD yang bisa dipasang di belakang bodi yang harganya hampir 1 juta).
Itu jadi masalah besar bagi yang tak terbiasa; masalah besar sebab kita tak
tahu komposisi obyek.
Fitur-fitur yang
sangat sederhana. Bila di kamera digital lain tombol-tombol fitur minimal lima,
maka di GoPro hanya tiga. Tombol power yang juga jadi mode, tombol shutter juga
untuk enter, dan satu tombol wifi. Kombinasi dua tombol awal adalah pemilihan
menu. Untuk isinya tak banyak, jadi bisa mudah memahaminya tapi gampang lupa.
Sedikitnya tombol menjadikan kamera ini 99% auto (1% itu hanya pilihan pada
Spot Meter alias Yes atau Not). Tak ada pengaturan kecepatan, tak ada
pengaturan bukaan, tak ada pengaturan ISO, dan pengaturan-pengaturan lain
seperti yang ada di kamera digital pada umumnya.
Kekurangan di atas memberi kesimpulan bahwa sepertinya kamera GoPro kamera
jadul. Satu-satunya LCD yang ada di situ masih monokrom, seperti kalkulator,
dan tak ada lampu flash. Betul-betul ketinggalan jaman. Begitu kira-kira.
Tapi ternyata, kekurangan di atas memang disengaja. Dugaan saya, selain memang
ada yang tidak terlalu penting, juga untuk menghemat baterei. Dengan kata lain,
kamera ini betul-betul hanya mengandalkan dua bagian utama pada kamera, yaitu
lensa dan sensor. Kan memang itu yang penting ada pada kamera. Jika itu tak
ada, kamera tak bisa apa-apa. Kalau yang lain sih masih bisa tidak ada.
Nah, lalu apa kelebihan kamera ini.
Pertama adalah kualitas gambar, khususnya GoPro Hero 3 seri Black. Bagi yang
gemar mendokumentasikan aksi-aksi di lingkungan ekstrem atau aktivitas
berbahaya dengan kualitas sangat bagus, kamera ini bisa diandalkan. Malah bisa
dikatakan, kualitasnya mungkin terlalu berlebihan, alias mubasir juga sebab
akan sangat jarang digunakan. Nanti saya jelaskan mengapa akan jarang
digunakan.
Saya akan membandingkan kualitas video GoPro Hero 3 Black dengan dua kamera
yang saya punyai (di atas sudah saya sebut) dan kamera merk lain yang saya tahu
kualitas videonya, seperti Canon 7D.
GoPro Hero 3 Black resolusi videonya bisa sampai 4 K atau 4 K Cin atau kalau
dalam resolusi layar sampai 4096 x 2160. Bandingkan dengan Nikon D300s yang
hanya 1080 x 720 atau Coolpix AW-100 yang beresoulsi 1920 x 1080 alias sudah
full HD, tapi pada GoPro telah ultra HD.
Frame per detiknya juga belum pernah saya temukan di kamera digital biasa, yang
berkisar 12.5, 24, 25, 48, 50, 60 sampai 100. Apa artinya, bagi yang gemar
membuat atau menghasilkan adegan lambat (slow motion), fps yang tinggi amat
memanjakan. Singkat kata, ada sekitar sembilan kombinasi antara resolusi dengan
fps-nya, tergantung film mau dipake apa nantinya.
Saya katakan demikian, ini juga sekaligus
menjelaskan maksud mubasir di atas, sebab kalau menggunakan resolusi
maksimalnya, yaitu kelas cinema (sinema alias setingkat dengan kualitas film
bioskop) maka, pertama, kartu memori akan cepat penuh. Jika menggunakan
kualitas itu, minimal menggunakan kartu microSD kapasitas 32 atau 64 GB yang
berkelas 10 (kecepatan tulis paling cepat). Kalau kartu 2 GB saja, itu bisanya
3 menit video kualitas bagus.
Kedua, ketika file sudah ada di komputer, bila file-nya langsung masuk
perangkat editing, akan sangat berat dan (dalam bahasa Mandar) akan
“tekke-tekke”. Itu sempat saya alami padahal saya sudah menggunakan MacBook Pro
17” prosesor Core i7 dengan RAM 8 (diolah di Final Cut 10).
Untuk kualitas foto, biasa-biasa saja. MB-nya sampai 12 saja (seri Silver dan
White masing-masing 11 dan 5 MB). Tapi yang membuat decak kagum adalah
burst-nya, bisa sampai 30 foto dalam 1 detik! Kalau Nikon D300s, paling banter
8 sampai 9 foto dalam 1 detik. Bedanya, sesaat setelah mengutip burst, butuh
kamera butuh waktu beberapa detik menuliskan file foto ke kartu memori. Alias
leg-nya cukup lama dibanding kamera DSLR.
Lalu bagaimana dengan kualitas warnanya? Kualitas warna, baik foto maupun film
juga biasa-biasa. Tapi khusus kualitas warna video, biasa di sini kira-kira
sama maknanya penampakan warna RAW pada foto DSLR. Maksudnya, warnanya memang
tampak biasa-biasa, tapi sebenarnya file tersebut memberi keleluasaan untuk
memperbaiki warnanya. Sebabnya apa? Sebab file video yang dihasilkan bisa
dianggap file RAW. Itu sebabnya, walau sensor GoPro kecil (dibanding DSLR),
tapi pengolahan filenya tidak sama.
Untuk mengatur ulang warna dan kompresi file, sebelum masuk ‘meja’ editing
akhir, file dianjurkan melalui dulu program GoPro CineForm yang bisa didownload
gratis dari web gopro.com. Faktor lain, jika sudah dikonversi di CineForm, file
tidak akan berat lagi diolah, tapi kualitasnya tetatp terjaga (kompresinya
khusus, tidak seperti kompresi lainnya, yang menurunkan kualitas gambar).
Kelebihan lainnya, bila ingin mencoba atau yang gemar membuat film tiga
dimensi, menggunakan GoPro relatif mudah dan murah dibanding bila membeli
kamera 3D betulan. Dengan menggunakan dua bodi kamera GoPro dalam satu wadah
khusus dan setelah melalui penyatuan file dari kamera kanan dan kiri di GoPro
CineForm, film tiga dimensi sudah bisa dihasilkan. Pun sudah bisa dipakai
menyelam (anti air). Dianjurkan untuk menggunakan kacamata tiga dimensi untuk
melihat hasilnya walau itu hanya di monitor komputer (bukan monitor khusus).
Berikutnya adalah aksesoris yang bisa disiapkan khusus untuk GoPro. Bila
dibandingkan dengan jenis kamera lain, aksesoris GoPro cukup lengkap dan
relatif murah. Misalnya harga housing yang bisa membawa kamera sampai ke
kedalaman 60 meter, yang harganya tidak sampai 1 juta (housing-nya malah sudah
ada saat beli kamera ini). Bandingkan dengan housing poket sejenis Canon
PowerShot yang harganya di atas dua juta.
Sebab ukuran kameranya kecil, GoPro
bisa dipasang di mana-mana (asal menggunakan aksesorisnya), seperti di kepala,
di atas atau samping helem, di dekat ban motor/sepeda, di atas kap mobil, di
haluan atau burita papan surfing, di dada, dan di lokasi-lokasi ekstrim
lainnya. Yang bila kamera DSLR di situ, si pemilik akan berpikir dua kali
(sebab berat, berpotensi jatuh, dan butuh alat aksesoris yang cukup mahal).
Lensa GoPro Hero 3 sudah pakem, yaitu
lensa wide. Hasilnya ultra wide, tapi belum sampai seperti distorsi lensa mata
ikan. Beberapa video di internet (Youtube) memperlihatkan GoPro yang diganti
lensanya. Tapi itu butuh lensa dan keahlian khusus. Yang jelas, lensa bawaannya
yang wide dengan F sampai 2.8 sudah lumayan, yaitu memperluas daerah tangkapan
(jadi tak perlu terlalu khawati obyek tak masuk dalam frame).
Kamera GoPro Hero 3 sudah built in
wifi. Artinya, bisa dikendalikan dari jauh untuk menekan shutter. Remote wifi
sudah bawaan sejak membeli. Bagi yang punya iPhone atau Samsung Galaxy yang
bisa install aplikasi GoPro, bisa menjadikan monitor hp atau tabletnya sebagai
LCD darurat. Dikatakan darurat, sebab dari layar bisa dilihat penampakan apa
yang dicakup lensa (frame), hanya saja tampilannya kecil (bila mau full screen,
tap area monitor yang memperlihatkan cakupan lensa) dan tidak realtime. Ada leg
beberapa detik antara apa yang dilihat oleh kamera dengan apa yang tampak di
LCD kamera. Jadi, tidak sebaik dengan LCD yang telah menempel di kamera digital
pada umumnya. Ini saya alami saat saya menggunakan iPhone 4 dalam mengendalikan
GoPro Hero 3.
Jadi apa
kesimpulannya atas kamera GoPro? Bagi pengguna awam, yang hasil video untuk
diaplod di Youtube saja, komputer yang digunakan lelet, dan ingin langsung
melihat hasil jepretan, tak dianjurkan untuk menjadikan kamera ini sebagai
kamera utama. Anda akan stress memilikinya. Kamera ini dibuat (khusus) bagi
orang yang biasa ke lingkungan ekstrem untuk mendokumentasi. Baik aksi diri
sendiri maupun orang lain. Misalnya pe-motor cross, penyelam atau yang biasa
snorkling, pe-sepeda atau pe-motor yang suka touring, pembuat film atau iklan,
jurnalis (yang biasa investigasi), dan para aktivis pecinta alam.
Dilihat dari harga, GoPro Hero 3 (yang
termahal) relatif murah. Tidak sampai 5 juta, yang sama harganya dengan DSLR
paling murah (di Nikon dan Canon). Selain bodi, juga sudah mendapat ‘kesing’ (housing)
anti air dan beberapa alat. Tapi belum termasuk aksesoris seperti kartu memori,
alat untuk menempelkan ke kap mobil, ke sepeda, LCD, baterei tambahan, dan
lain-lain. Yang jelas, kalau mau mengoleksi semua aksesoris GoPro, kira-kira
butuh dana 5 juta lagi. Artinya, kelebihan kamera yang paripurna bisa dimiliki
jika mengeluarkan bajet minimal 10 juta. Ya lumayan, tapi masih lebih murah
dibanding DSLR semi-profesional yang hanya bodi saja.